Senin, 16 April 2018

Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta





YOGYAKARTA DALAM WACANA SENI RUPA KONTEMPORER

Oleh :
Nabila Warda Safitri

Prodi Seni Rupa murni, Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, UNESA
Email : nabilawarda13@gmail.com


Abstrak
            Penulisan ini bertujuan untuk membongkar gejala seni rupa kontemporer terutama di Yogyakarta, dalam perkembangannya Yogyakarta merupakan salah satu pusat perkembangan seni rupa kontemporer yang mendominasi, karena banyak rangkaian peristiwa – peristiwa yang  mengawali perintisan seni rupa kontemporer Indonesia.  dalam penulisan ini data di kumpulkan melalui studi literatur pada penelitian Sumartono, Asmudjo Jono Irianto, Rizki A. Zaelani, dan M. Dwi Marianto lewat buku Outlet yayasan seni cemeti.

Kata kunci : Seni Rupa, Seni Kontemporer, peristiwa.


Wacana Seni Rupa Kontemporer

            Seni rupa kontemporer mengacu pada perkembangan seni yang terpengaruh oleh dampak modernisasi dimana istilah kontemporer sendiri  sering diartikan sebagai seni saat ini, istilah ini di gunakan sebagai istilah umum sejak contemporary art berkembang di barat sebagai produk seni yang dibuat sejak perang dunia kedua. Istilah ini berkembang di indonesia seiring makin beragamnya teknik dan medium dalam memproduksi sebuah karya seni dan juga telah menjadi praktik dari disiplin yang berbeda , pilihan artistik , dan pilihan presentasi karya yang tidak terikat oleh batas – batas ruang dan waktu.
Di saat seni modern mengalami krisis, penyebab krisis ini antara lain karena penciptaan karya yang terlalu mudah di tambah lagi dengan jenis karya lukis yang tak telampau jumlahnya , maka timbul kekaburan batas – batas estetika. Sampai akhirnya muncul suatu seruan bahwa segala sesuatu telah sampai pada akhir begitupun yang dikata kan arthur danto dalam the end of art theory dan bilamana karya tersebut akan masih dilanjutkan maka akan  semata – mata hanya berisi kekosongan pada karya dengan tidak adanya makna – makna dalam karyanya, dan di tengah kekacauan inilah seni kontemporer muncul.  Sedangkan di indonesia perkembangan seni rupa kontemporer bukan karena seni rupa modern indonesia mengalami krisis seperti yang terjadi di barat, tetapi lebih di dorong oleh berbagai gerakan  - gerakan seni rupa. Gerakan – gerakan tersebut juga di bahas oleh Sumartono dimana gerakan tersebut merupakan pemberontakan akademis para perupa muda yang menentang para perupa – perupa senior, dimana dalam anggota dari gerakan tersebut berasal dari yogyakarta (ASRI/ISI). Yogyakarta sendiri sangat berpengaruh dalam perkembangan seni kontemporer di Indonesia bahkan Dwi marianto dan Suwarno tidak ragu dalam menyebut Yogya sebagai kontributor utama seni rupa indonesia. Banyak hal yang menjadi penyumbang melambungnya praktek seni rupa kontemporer Yogyakarta dan satu hal yang paling sering di yakini sebagai penyumbang utama adalah kondisi sosial Yogyakarta sendiri yang khas, yang tidak dimiliki oleh pusat – pusat seni rupa yang lainnya, seperti Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Yogya merupakan salah satu kota tua yang masih menyisakan banyak nuansa masa lalu dan juga Yogya memegang peranan penting sehingga di tetapkan sebagai daerah istimewa dan hal ini pun menjadi penyebab mengapa aspek tradisi berusaha di pertahankan. Karakter khas Yogyakarta dan pentingnya Yogyakarta dalam peta seni kontemporer Indonesia amat disadari oleh Artworld (Artworld disini mengacu pada institusi sosial yang lebar dimana karya seni itu di tempatkan) dan banyak juga seniman – seniman Yogya yang berpengaruh dalam perkembangan seni rupa hingga saat ini.

Masa Perintisan Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta

            Perlu di catat bahwa ASRI/ISI sangat berpengaruh pada awal mula perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia dimana sempat muncul ketidakpuasan di kalangan mahasiswa ASRI terhadap tim juri Pameran Seni Lukis indonesia. Ketidakpuasan itu terjadi karena ketidaksetujuan kriteria penilaian tim juri dalam menyeleksi karya – karya yang diikutsertakan dalam pameran. Di tahun 1970an terjadilah pertikaian tajam antaran seniman golongan yang tua dan yang muda dan berujung pada peristiwa Desember Hitam sebagai reaksi terhadap Pameran Besar Seni Lukis Indonesia yang memilih karya-karya A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam, dan Abas Alibasyah sebagai karya – karya terbaik. Adapun penyataan Desember Hitam itu adalah sebagai berikut :
1.      Bahwa kepancaragaman seni lukis Indonesia merupakan kenyataan yang tidak dapat di pungkiri, akan tetapi kepancaragaman itu tidak dengan sendirinya menunjukkan perkembangan yang baik.
2.      Bahwa untuk perkembangan yang menjamin keberlangsungan kebudayaan kita, para pelukis terpanggil untuk memberikan kearahan rohani yang berpangkal pada nilai – nilai kemanusiaan dan berorientasi pada kenyataan kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi.
3.      Bahwa kreativitas adalah kodrat pelukis, yang menempuh berbagai cara untuk mencapai perspektif-perspektif baru bagi seni lukis indonesia.
4.      Bahwa dengan demikian maka identitas seni lukis indonesia dengan sendirinya jelas eksistensinya.
5.      Bahwa yang menghambat perkembangan seni lukis Indonesia selama ini adalah konsep – konsep usang, yang masih dianut oleh establishment, pengusaha seni budaya dan seniman – seniman yang sudah mapan. Demi keselamatan seni lukis kita, maka kini sudah saatnya kita memberi kehormatan pada establishment tersebut, yaitu kehormatan purnawirawan budaya.
            Selain penyataan Desember Hitam tersebut juga timbul pemberontakan seni melalui pameran sindiran dengan nama nusantara – nusantara yang di gelar oleh pelukis – pelukis muda yang juga mahasiswa ASRI. Peristiwa Desember Hitam menjadi penting setelah terbentuknya GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru) pada tahun 1975 karena GSRB ini sangat berarti karena gerakan ini secara gencar mendobrak definisi seni rupa yang sempit. Definisi seni rupa yang selama ini dianut telah menghambat seni rupa kontemporer Indonesia. Gerakan ini secara tegas menghendaki adanya redifinisi seni rupa.
            Pada periode 70-an tepatnya pada tahun 1977 juga terdapat peristiwa perbenturan antara kegiatan seni rupa dan organisasi kepolisian dimana saat diselenggarakan nya pameran Kepribadian Apa di Senisono kepolisian menutup pameran tersebut dengan alasan melanggar surat izin dan terdapat pornografi. Menurut Sumartono kriteria porno yang di gunakan kepolisian ini mengada – ada alasannya karena poster – poster film yang di pajang di bioskop Yogyakarta waktu itu banyak yang porno juga, mestinya poster tersebut juga dilarang hanya saja poster itu merupakan bisnis yang di backing penguasa pusat sehingga tidak ada yang berani mengusiknya dengan kejadian tersebut rupanya juga manjadikan respon ketidakpuasan.
            Perkembangan - perkembang pun semakin berlanjut melalui peristiwa – peristiwa kesenian baik dari mahasiswa yang dalam lingkup kampus maupun kelompok – kelompok kecil. Pada tahun 1980-an, karya – karya yang di lahirkan oleh rumah cemeti di Yogyakarta melakukan perkembangan pada pencarian dalam artistik yang baru. Karya seperti multimedia, instalasi, seni performance yang saat itu sulit di terima galeri maupun ruang pameran lainnya, bisa diterima dalam ruang pameran ini. Rumah seni cemeti kemudian menjadi lingkaran yang semakin melebar, tidak hanya mencakup perkembangan seni rupa di Yogya namun dengan terbentuknya yayasan seni cemeti kota Yogyakarta menjadi pusat bagi perkembangan seni rupa kontemporer di indonesia. Galeri cemeti ini tepatnya di dirikan pada tahun 1988 yang dimana didirikan oleh pasangan pelukis indonesia Nindityo Adipurnomo dan pelukis belanda Mella Jaarsma.
            Kemunculan ruang seni seperti cemeti ini secara tidak langsung menjadi bentuk reaksi para seniman atas gejala pasar terutama Boom seni lukis di pertengahan 1980-an, dengan pengelolahan Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo di rumah seni cemeti wajah seni rupa indonesia juga banyak di sorot oleh para kurator maupun organisasi seni di luar negeri.
            Peristiwa lain yang perlu di sorot pada perkembangan seni tahun 1980-an tidak lain adalah peristiwa Boom seni lukis indonesia dimana di pertengahan tahun 1980-an, kolektor – kolektor seni kian bertambah. Para kolektor ini bukan hanya sebagai perorangan tetapi juga perusahaan milik negara maupun swasta selain itu juga muncul profesi baru seperti pemasok dan pembeli karya seni akan tetapi terjadilan kemiskinan seni dibalik hiruk – pikuk gejala pasar karena dibuktikan dengan semakin jarangnya menemukan pameran diluar seni lukis begitupun dengan para kolektornya yang masih menempatkan koleksi karya nya di ruang privat, belum sampai di ruang yang bisa di akses publik luas. Namun keberadaan ruang alternatif kebanyakan dilakukan oleh praktisi muda walau dengan bersusah payah tetap menjadi sumber perkembangan yang menyumbang nilai untuk dunia seni rupa indonesia kedepannya.
            Memasuki tahun 1990-an antara 1991 hingga 1992 di Yogyakarta terjadi peristiwa penting yang menimbulkan pro dan kontra yang sangat tajam. Ini merupakan peristiwa di bubarkannya atau di tutupnya galeri senisono yang terkenal itu dan pemerintah mengalih fungsinya untuk keperluan lain protes demi protes pun berlangsung. Pemerintahan orde baru memang sangat memegang kekuasaan yang besar bahkan dalam dunia seni rupa juga dimana penjurian pameran seni selalu memperhitungkan faktor pemerintah dengan karya yang tidak mengandung kritik sosial, politik dan ekonomi.
            Karena karya seni yang berkembang sejak kelahiran GSRB kebanyakan mengandung kritik sosial, politik dan ekonomi maka akan sulit untuk karya tersebut dalam menembus pameran – pameran bergengsi. Oleh karena itu apa yang terjadi di Bienal seni lukis yogyakarta III, yg berlangsung tahun 1992 tentu karya semacam itu sulit di tembus. Dalam menanggapi hal tersebut mereka menyelenggarakan pameran yang nama nya mengandung pelesetan : pameran binal eksperimental arts dimana pameran ini merupakan pemberontakan yang di selenggarakan besar-besaran  diikuti 130 peserta, di sembilan lokasi berbeda di Yogyakarta. Dengan begitu Yogyakarta sangatlah penting untuk percaturan seni rupa kontemporer di indonesia karena pameran demi pameran yang di laksanakan di Yogya seolah tak kenal henti.
Praktek seni rupa kontemporer Yogyakarta kini tidak hanya tentang kita berbicara kebudayaan indonesia saja melainkan tentang kebudayaan global  yaitu tentang global order yang dinyatakan dalam perayaan proses globalisasi dunia. Perkembangan seni rupa kontemporer di tahun 1990-an, memang terkait erat dengan proses ‘internasionalisasi’ karena dengan berbagai forum pameran internasional beberapa seniman pun mulai di kenal luas dalam wacana seni rupa internasional.
           



Daftar Pustaka
A.Zaelani, Rizki. 2000. “Menyoal Karya Seniman Yogyakarta Angkatan ’90-an, Sebuah Kasus Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia”, Outlet. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
A.Zaelani, Rizki. 2000. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia Kini”, Awas! Recent Art From Indonesia. Yogyakarta.
Djatiprambudi, Djuli. 2007. “Esensi Kelahiran GSRB”, Menggugat Seni Murni. Surabaya: Lembaga Penerbitan Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa.
Jono, Asmudjo. 2000. “Konteks Tradisi dan Sosial-Politik Dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90-an”, Outlet.Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Marianto, Dwi. 2000. “Gelagat Yogyakarta Menjelang Millenium Ketiga”, Outlet.Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Marianto, Dwi. 2000. “Meledek Melalui Seni”, Awas! Recent Art From Indonesia. Yogyakarta.
Sumartono. 2000. “Peran Kekuasaan Dalam Seni Rupa Kontemporer Jogja”, Outlet.Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.

Walltext Looking For "Habit"











WALLTEXT
LOOKING FOR
“ Habit ”
09 – 11 Februari  2018 @ Loop Station

           
            “Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang – ulang, karena itu keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan kebiasaan” (Aristotales). Begitulah habit, seperti spiral yang hanya memiliki dua pilihan, bertambah besar atau bahkan semakin menciut. Setiap repetisi atau pengulangan akan memperkuat  habit, dimana harus dilakukan secara kontinue atau kita harus melakukannya secara terus menerus agar habit (kebiasaan) akan terus berkembang dan tak menciut. Repetisi tersebut akan menimbulkan gerak reflek tanpa harus berfikir sehingga habit menjadi suatu hal yg kita lakukan secara otomatis.
            Seringkali kita di hadapkan pada simpang – simpang pilihan bias, dalam mendapatkan kekaburan antara yang benar dan salah, yang berujung pada pandangan tentang kebiasaan positif maupun negatif. Dalam sudut pandang seni rupa perkara kebiasaan positif maupun negatif tersebut dapat menginspirasi para seniman untuk menyiratkannya kedalam bentuk-bentuk maupun garis absurd dalam karya nya.
            Habit (kebiasaan) sebagai suatu konteks peristiwa yang dihadirkan sebagai tema  menjadikan eksposisi atas gagasan – gagasan yang menggelitik dari setiap seniman, karena seniman yang jenius telah menelaah kandungan ketidaksadaran kolektif (Arketip) dari kebiasaan dengan instuisi. Melalui arketip akan tersingkap dengan sendirinya secara spontan, dan selanjutnya diproyeksikan melalui simbol – simbol ke dalam karya seni-Nya dan dengan begitu tentunya mengajak publik seni untuk senantiasa mengembangkan wawasan seni nya menjadi lebih kritis.
Nabila W. S.



Rabu, 06 Desember 2017

Seni Rupa Surabaya Sebagai Wacana Tengah





SENI RUPA SURABAYA SEGABAI WACANA TENGAH



            Menilik gejala – gejala pergerakan seni rupa di Indonesia nampaknya yogyakarta dan bandung lah yang paling sering di kupas kesenirupaan-nya bahkan dua kota tersebut menjadi tolok ukur perkembangan  seni rupa saat ini,  hal tersebut memang terlihat dari kedinamisan kreativitas senimannya. Namun jika di kita tilik lebih jauh terdapat perbedaan yang signifikan melalui pemikiran dan komitmen mereka di dunia seni rupa yang menimbulkan suatu wacana kubu barat dan kubu timur yang menguak ke permukaan,  karena jika mengamati perkembangan seni rupa dua kota ini terlihat benang merah yang jelas, disini kubu jogja banyak melahirkan seniman muda yang berbakat dan itu sangatlah berbanding terbalik dengan bandung yang banyak melahirkan pengamat. Menurut pandangan Mamanoor penyebab perbedaan tersebut disebabkan oleh pendidikan “Di jogja pendidikan memberatkan pada segi teknis sedangkan di bandung lebih menitik beratkan kepada konseptual” hal tersebut juga bisa kita amati melalui karya – karya perupa muda jebolan yogyakarta dan bandung yang sangat terlihat jelas. Lantas dimanakah letak wacana seni rupa surabaya kita jika hanya  wacana kubu barat dan kubu timur saja yang sering dibicarakan dalam kontelasi seni rupa Indonesia.
            Memang benar adanya jika seni rupa di surabaya  ini disebut sebagai salah satu entitas seni rupa indonesia yang sering luput dari pembicaraan dalam konstelasi  seni rupa indonesia. Sejumlah pengamat selalu mengarahkan objek kajiannya pada entitas seni rupa kubu barat dan timur sehingga surabaya pun seringkali di abaikan, mengapa seni rupa surabaya seringkali  terabaikan apa tidaklah layak seni rupa surabaya untuk di bicarakan padahal seni rupa di surabaya sendiri sekitar tahun 70-an telah terbentuk  medan sosial seni  dengan adanya seniman , galery , kolektor bahkan juga sempat berkembang AKSERA (akademi seni rupa surabaya) yang berkobar meskipun Aksera berumur terlampau pendek. Melihat kondisi demikian memang seni rupa surabaya cukup dominan dalam lingkup wacana nya terdahulu namun wacana seni rupa surabaya yang sempat berkobar agaknya semakin redup di era kontemporer ini sehingga mungkin persepsi para pengamat dan pengkaji seni mempertimbangkan ulang untuk membicarakan wilayah kajian entitas seni rupa surabaya.
            Wacana seni rupa terdahulu kian carut – marut dalam kontemporer ini bagaimana tidak jika arus perkembangan kubu barat dan timur yang semakin maju disisi lain perkembangan seni rupa surabaya semakin terpuruk. sebagai permasalahan yang mendasar dalam keterpurukan seni rupa surabaya sendiri yaitu tidak adanya suatu wacana yang mendominasi dan melekat pada Artworld seni rupa di surabaya, sehingga seni rupa surabaya sendiri tidak memiliki wacana seni rupa nya tersendiri dengan demikian potensi – potensi kesenian yang ada di surabaya seringkali berpindah ke kubu barat dan timur dengan berbasis pada ideologinya,  perupa yang tumbuh dan berkembang di surabaya beralih ke jojga untuk lebih mendongkrak eksistensinya seperti itulah yang sering terjadi.
            Sebenarnya dalam menanggapi permasalahan mendasar tidak bisa hanya melibatkan individu pribadi saja namun akan lebih efektif jika sekelompok individu yang turut mendongkrak seni rupa surabaya, selama ini yang sering penulis lihat kelompok – kelompok perupa yang silih berganti sesuai zamannya sebenarnya hanyalah sekelompok perupa yang bersifat temporal, yang tujuannya tidak lain hanya menggalang pameran. Kelompok – kelompok ini tidak berbasis pada ideologis tertentu, yang bertujuan mengobarkan suatu wacana. Tak satu pun kelompok – kelompok seni rupa surabaya yang menciptakan kesan sebagai suatu gerakan kesenian yang akan melahirkan suatu wacana baru sehingga tidak hanya wacana seni rupa kubu barat dan timur saja namun agaknya seni rupa surabaya di pandang sebagai wacana tengah. Dalam mewujudkan wacana tengah untuk seni rupa surabaya tentunya bersama kita harus menacari jati diri atau identitas karena dilihat dari perkembangan seni rupa, hal tersebut merupakan rentetan perdebatan besar yang sudah lama di hembuskan oleh polemik – polemik lama. Dan disisi lain kita harus mentransformasi seni rupa kita, menurut Umar Kayam, “Transformasi mengandaikan sesuatu proses pengalihan total dari suatu bentuk yang sosok baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu proses perubahan. Transformasi dapat di bayangkan sebagai suatu proses yang lama bertahap – tahap akan tetapi dapat pula di bayangkn sebagai titik balik yang cepat bahkan abrup”dan yang tidak kalah penting yaitu perlunya keberadaan sekelompok individu yang mengobarkan sebuah wacana baru untuk keserupaan di surabaya dengan hal demikian bisakah seni rupa di surabaya ditilik sebagai wacana tengah?.

Nabila Warda Safitri

SEKTOR KOTOR #4









WALLTEXT
Sektor Kotor Project
JURNAL GAGAK
“Besok”
07 – 09 Desember 2017 @Dewan Kesenian Surabaya

            Nabila Warda Safitri
            Sudahkah kau baca karya – karya itu !  ada gairah para seniman yang mengalir dalam garis – garis  absurd , warna carut marut yang bercerita kepada  mu tentang besok.  Besok adalah ikhwal yang senantiasa simpang siur bagi manusia, tidaklah banyak orang yang tahu tentang apa yang akan terjadi di hari esok, namun dengan besok yang masih menjadi misteri  justru menyiratkan semangat seniman dalam berkarya seni karena berdasarkan disiplin ilmu psikologi kebanyakan seniman termotivasi oleh keinginan untuk memecahkan sebuah masalah, bahkan mereka juga seringkali didorong oleh keinginan untuk menemukan masalah baru untuk di pecahkan seperti  permasalahan tentang besok ini.
            Di mata seorang yang kreatif besok adalah ikhwal yang dapat di terawang. Begitu banyak konsep – konsep, teori – teori, konstruksi pikir bahkan metodologi yang disiapkan untuk menghadapi hari esok, bekal ini kemudian di rumuskan ke dalam gambar melalui tolok ukur tertentu. Ukuran - ukuran tersebut menjadi sebuah rujukan untuk merumuskan bagaimana kita akan mengambil posisi dan ingin menyiapkan diri seperti apa untuk menghadapi besok.
            Besok sebagai sebuah konteks peristiwa dihadirkan sebagai tema yang menjadikan eksposisi atas gagasan – gagasan yang menggelitik dari setiap seniman karena menurut Jung, seniman jenius menelaah kandungan ketidaksadaran kolektif (Arketip) dengan instuisi. Melalui arketip akan tersingkap dengan sendirinya secara spontan, dan selanjutnya diproyeksikan melalui simbol – simbol ke dalam karya seni-Nya dan dengan begitu tentunya mengajak publik seni untuk senantiasa mengembangkan wawasan seni nya menjadi lebih kritis.