YOGYAKARTA DALAM WACANA SENI RUPA
KONTEMPORER
Oleh :
Nabila Warda Safitri
Prodi Seni Rupa
murni, Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, UNESA
Email :
nabilawarda13@gmail.com
Abstrak
Penulisan ini bertujuan untuk
membongkar gejala seni rupa kontemporer terutama di Yogyakarta, dalam
perkembangannya Yogyakarta merupakan salah satu pusat perkembangan seni rupa
kontemporer yang mendominasi, karena banyak rangkaian peristiwa – peristiwa yang
mengawali perintisan seni rupa
kontemporer Indonesia. dalam penulisan
ini data di kumpulkan melalui studi literatur pada penelitian Sumartono,
Asmudjo Jono Irianto, Rizki A. Zaelani, dan M. Dwi Marianto lewat buku Outlet yayasan
seni cemeti.
Kata kunci :
Seni Rupa, Seni Kontemporer, peristiwa.
Wacana Seni Rupa Kontemporer
Seni rupa kontemporer mengacu pada
perkembangan seni yang terpengaruh oleh dampak modernisasi dimana istilah
kontemporer sendiri sering diartikan
sebagai seni saat ini, istilah ini di gunakan sebagai istilah umum sejak
contemporary art berkembang di barat sebagai produk seni yang dibuat sejak
perang dunia kedua. Istilah ini berkembang di indonesia seiring makin
beragamnya teknik dan medium dalam memproduksi sebuah karya seni dan juga telah
menjadi praktik dari disiplin yang berbeda , pilihan artistik , dan pilihan
presentasi karya yang tidak terikat oleh batas – batas ruang dan waktu.
Di
saat seni modern mengalami krisis, penyebab krisis ini antara lain karena
penciptaan karya yang terlalu mudah di tambah lagi dengan jenis karya lukis
yang tak telampau jumlahnya , maka timbul kekaburan batas – batas estetika.
Sampai akhirnya muncul suatu seruan bahwa segala sesuatu telah sampai pada
akhir begitupun yang dikata kan arthur danto dalam the end of art theory dan
bilamana karya tersebut akan masih dilanjutkan maka akan semata – mata hanya berisi kekosongan pada
karya dengan tidak adanya makna – makna dalam karyanya, dan di tengah kekacauan
inilah seni kontemporer muncul. Sedangkan
di indonesia perkembangan seni rupa kontemporer bukan karena seni rupa modern
indonesia mengalami krisis seperti yang terjadi di barat, tetapi lebih di
dorong oleh berbagai gerakan - gerakan
seni rupa. Gerakan – gerakan tersebut juga di bahas oleh Sumartono dimana
gerakan tersebut merupakan pemberontakan akademis para perupa muda yang
menentang para perupa – perupa senior, dimana dalam anggota dari gerakan
tersebut berasal dari yogyakarta (ASRI/ISI). Yogyakarta sendiri sangat
berpengaruh dalam perkembangan seni kontemporer di Indonesia bahkan Dwi
marianto dan Suwarno tidak ragu dalam menyebut Yogya sebagai kontributor utama
seni rupa indonesia. Banyak hal yang menjadi penyumbang melambungnya praktek
seni rupa kontemporer Yogyakarta dan satu hal yang paling sering di yakini
sebagai penyumbang utama adalah kondisi sosial Yogyakarta sendiri yang khas,
yang tidak dimiliki oleh pusat – pusat seni rupa yang lainnya, seperti Bandung,
Jakarta, dan Surabaya. Yogya merupakan salah satu kota tua yang masih menyisakan
banyak nuansa masa lalu dan juga Yogya memegang peranan penting sehingga di
tetapkan sebagai daerah istimewa dan hal ini pun menjadi penyebab mengapa aspek
tradisi berusaha di pertahankan. Karakter khas Yogyakarta dan pentingnya
Yogyakarta dalam peta seni kontemporer Indonesia amat disadari oleh Artworld
(Artworld disini mengacu pada institusi sosial yang lebar dimana karya seni itu
di tempatkan) dan banyak juga seniman – seniman Yogya yang berpengaruh dalam
perkembangan seni rupa hingga saat ini.
Masa Perintisan Seni Rupa
Kontemporer Yogyakarta
Perlu di catat bahwa ASRI/ISI sangat
berpengaruh pada awal mula perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia dimana sempat
muncul ketidakpuasan di kalangan mahasiswa ASRI terhadap tim juri Pameran Seni
Lukis indonesia. Ketidakpuasan itu terjadi karena ketidaksetujuan kriteria
penilaian tim juri dalam menyeleksi karya – karya yang diikutsertakan dalam
pameran. Di tahun 1970an terjadilah pertikaian tajam antaran seniman golongan
yang tua dan yang muda dan berujung pada peristiwa Desember Hitam sebagai
reaksi terhadap Pameran Besar Seni Lukis Indonesia yang memilih karya-karya
A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam, dan Abas Alibasyah sebagai karya –
karya terbaik. Adapun penyataan Desember Hitam itu adalah sebagai berikut :
1. Bahwa
kepancaragaman seni lukis Indonesia merupakan kenyataan yang tidak dapat di
pungkiri, akan tetapi kepancaragaman itu tidak dengan sendirinya menunjukkan
perkembangan yang baik.
2. Bahwa
untuk perkembangan yang menjamin keberlangsungan kebudayaan kita, para pelukis
terpanggil untuk memberikan kearahan rohani yang berpangkal pada nilai – nilai
kemanusiaan dan berorientasi pada kenyataan kehidupan sosial, budaya, politik
dan ekonomi.
3. Bahwa
kreativitas adalah kodrat pelukis, yang menempuh berbagai cara untuk mencapai
perspektif-perspektif baru bagi seni lukis indonesia.
4. Bahwa
dengan demikian maka identitas seni lukis indonesia dengan sendirinya jelas
eksistensinya.
5. Bahwa
yang menghambat perkembangan seni lukis Indonesia selama ini adalah konsep –
konsep usang, yang masih dianut oleh establishment, pengusaha seni budaya dan
seniman – seniman yang sudah mapan. Demi keselamatan seni lukis kita, maka kini
sudah saatnya kita memberi kehormatan pada establishment tersebut, yaitu
kehormatan purnawirawan budaya.
Selain penyataan Desember Hitam
tersebut juga timbul pemberontakan seni melalui pameran sindiran dengan nama
nusantara – nusantara yang di gelar oleh pelukis – pelukis muda yang juga
mahasiswa ASRI. Peristiwa Desember Hitam menjadi penting setelah terbentuknya
GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru) pada tahun 1975 karena GSRB ini sangat berarti
karena gerakan ini secara gencar mendobrak definisi seni rupa yang sempit.
Definisi seni rupa yang selama ini dianut telah menghambat seni rupa
kontemporer Indonesia. Gerakan ini secara tegas menghendaki adanya redifinisi
seni rupa.
Pada periode 70-an tepatnya pada
tahun 1977 juga terdapat peristiwa perbenturan antara kegiatan seni rupa dan
organisasi kepolisian dimana saat diselenggarakan nya pameran Kepribadian Apa
di Senisono kepolisian menutup pameran tersebut dengan alasan melanggar surat
izin dan terdapat pornografi. Menurut Sumartono kriteria porno yang di gunakan
kepolisian ini mengada – ada alasannya karena poster – poster film yang di
pajang di bioskop Yogyakarta waktu itu banyak yang porno juga, mestinya poster
tersebut juga dilarang hanya saja poster itu merupakan bisnis yang di backing
penguasa pusat sehingga tidak ada yang berani mengusiknya dengan kejadian
tersebut rupanya juga manjadikan respon ketidakpuasan.
Perkembangan - perkembang pun
semakin berlanjut melalui peristiwa – peristiwa kesenian baik dari mahasiswa
yang dalam lingkup kampus maupun kelompok – kelompok kecil. Pada tahun 1980-an,
karya – karya yang di lahirkan oleh rumah cemeti di Yogyakarta melakukan
perkembangan pada pencarian dalam artistik yang baru. Karya seperti multimedia,
instalasi, seni performance yang saat itu sulit di terima galeri maupun ruang
pameran lainnya, bisa diterima dalam ruang pameran ini. Rumah seni cemeti kemudian
menjadi lingkaran yang semakin melebar, tidak hanya mencakup perkembangan seni
rupa di Yogya namun dengan terbentuknya yayasan seni cemeti kota Yogyakarta
menjadi pusat bagi perkembangan seni rupa kontemporer di indonesia. Galeri
cemeti ini tepatnya di dirikan pada tahun 1988 yang dimana didirikan oleh
pasangan pelukis indonesia Nindityo Adipurnomo dan pelukis belanda Mella
Jaarsma.
Kemunculan ruang seni seperti cemeti
ini secara tidak langsung menjadi bentuk reaksi para seniman atas gejala pasar
terutama Boom seni lukis di pertengahan 1980-an, dengan pengelolahan Mella
Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo di rumah seni cemeti wajah seni rupa indonesia
juga banyak di sorot oleh para kurator maupun organisasi seni di luar negeri.
Peristiwa lain yang perlu di sorot
pada perkembangan seni tahun 1980-an tidak lain adalah peristiwa Boom seni
lukis indonesia dimana di pertengahan tahun 1980-an, kolektor – kolektor seni
kian bertambah. Para kolektor ini bukan hanya sebagai perorangan tetapi juga
perusahaan milik negara maupun swasta selain itu juga muncul profesi baru
seperti pemasok dan pembeli karya seni akan tetapi terjadilan kemiskinan seni
dibalik hiruk – pikuk gejala pasar karena dibuktikan dengan semakin jarangnya
menemukan pameran diluar seni lukis begitupun dengan para kolektornya yang
masih menempatkan koleksi karya nya di ruang privat, belum sampai di ruang yang
bisa di akses publik luas. Namun keberadaan ruang alternatif kebanyakan
dilakukan oleh praktisi muda walau dengan bersusah payah tetap menjadi sumber
perkembangan yang menyumbang nilai untuk dunia seni rupa indonesia kedepannya.
Memasuki tahun 1990-an antara 1991
hingga 1992 di Yogyakarta terjadi peristiwa penting yang menimbulkan pro dan
kontra yang sangat tajam. Ini merupakan peristiwa di bubarkannya atau di
tutupnya galeri senisono yang terkenal itu dan pemerintah mengalih fungsinya
untuk keperluan lain protes demi protes pun berlangsung. Pemerintahan orde baru
memang sangat memegang kekuasaan yang besar bahkan dalam dunia seni rupa juga
dimana penjurian pameran seni selalu memperhitungkan faktor pemerintah dengan
karya yang tidak mengandung kritik sosial, politik dan ekonomi.
Karena karya seni yang berkembang
sejak kelahiran GSRB kebanyakan mengandung kritik sosial, politik dan ekonomi
maka akan sulit untuk karya tersebut dalam menembus pameran – pameran
bergengsi. Oleh karena itu apa yang terjadi di Bienal seni lukis yogyakarta
III, yg berlangsung tahun 1992 tentu karya semacam itu sulit di tembus. Dalam
menanggapi hal tersebut mereka menyelenggarakan pameran yang nama nya
mengandung pelesetan : pameran binal eksperimental arts dimana pameran ini
merupakan pemberontakan yang di selenggarakan besar-besaran diikuti 130 peserta, di sembilan lokasi
berbeda di Yogyakarta. Dengan begitu Yogyakarta sangatlah penting untuk
percaturan seni rupa kontemporer di indonesia karena pameran demi pameran yang
di laksanakan di Yogya seolah tak kenal henti.
Praktek
seni rupa kontemporer Yogyakarta kini tidak hanya tentang kita berbicara
kebudayaan indonesia saja melainkan tentang kebudayaan global yaitu tentang global order yang dinyatakan
dalam perayaan proses globalisasi dunia. Perkembangan seni rupa kontemporer di
tahun 1990-an, memang terkait erat dengan proses ‘internasionalisasi’ karena
dengan berbagai forum pameran internasional beberapa seniman pun mulai di kenal
luas dalam wacana seni rupa internasional.
Daftar Pustaka
A.Zaelani,
Rizki. 2000. “Menyoal Karya Seniman Yogyakarta Angkatan ’90-an, Sebuah Kasus
Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia”, Outlet. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
A.Zaelani,
Rizki. 2000. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia Kini”, Awas! Recent Art From Indonesia. Yogyakarta.
Djatiprambudi,
Djuli. 2007. “Esensi Kelahiran GSRB”, Menggugat
Seni Murni. Surabaya: Lembaga Penerbitan Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa.
Jono,
Asmudjo. 2000. “Konteks Tradisi dan Sosial-Politik Dalam Seni Rupa Kontemporer
Yogyakarta Era ’90-an”, Outlet.Yogyakarta:
Yayasan Seni Cemeti.
Marianto,
Dwi. 2000. “Gelagat Yogyakarta Menjelang Millenium Ketiga”, Outlet.Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Marianto,
Dwi. 2000. “Meledek Melalui Seni”, Awas!
Recent Art From Indonesia. Yogyakarta.
Sumartono.
2000. “Peran Kekuasaan Dalam Seni Rupa Kontemporer Jogja”, Outlet.Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Keren juga referensinya
BalasHapusKeren juga referensinya
BalasHapus