Rabu, 06 Desember 2017

Seni Rupa Surabaya Sebagai Wacana Tengah





SENI RUPA SURABAYA SEGABAI WACANA TENGAH



            Menilik gejala – gejala pergerakan seni rupa di Indonesia nampaknya yogyakarta dan bandung lah yang paling sering di kupas kesenirupaan-nya bahkan dua kota tersebut menjadi tolok ukur perkembangan  seni rupa saat ini,  hal tersebut memang terlihat dari kedinamisan kreativitas senimannya. Namun jika di kita tilik lebih jauh terdapat perbedaan yang signifikan melalui pemikiran dan komitmen mereka di dunia seni rupa yang menimbulkan suatu wacana kubu barat dan kubu timur yang menguak ke permukaan,  karena jika mengamati perkembangan seni rupa dua kota ini terlihat benang merah yang jelas, disini kubu jogja banyak melahirkan seniman muda yang berbakat dan itu sangatlah berbanding terbalik dengan bandung yang banyak melahirkan pengamat. Menurut pandangan Mamanoor penyebab perbedaan tersebut disebabkan oleh pendidikan “Di jogja pendidikan memberatkan pada segi teknis sedangkan di bandung lebih menitik beratkan kepada konseptual” hal tersebut juga bisa kita amati melalui karya – karya perupa muda jebolan yogyakarta dan bandung yang sangat terlihat jelas. Lantas dimanakah letak wacana seni rupa surabaya kita jika hanya  wacana kubu barat dan kubu timur saja yang sering dibicarakan dalam kontelasi seni rupa Indonesia.
            Memang benar adanya jika seni rupa di surabaya  ini disebut sebagai salah satu entitas seni rupa indonesia yang sering luput dari pembicaraan dalam konstelasi  seni rupa indonesia. Sejumlah pengamat selalu mengarahkan objek kajiannya pada entitas seni rupa kubu barat dan timur sehingga surabaya pun seringkali di abaikan, mengapa seni rupa surabaya seringkali  terabaikan apa tidaklah layak seni rupa surabaya untuk di bicarakan padahal seni rupa di surabaya sendiri sekitar tahun 70-an telah terbentuk  medan sosial seni  dengan adanya seniman , galery , kolektor bahkan juga sempat berkembang AKSERA (akademi seni rupa surabaya) yang berkobar meskipun Aksera berumur terlampau pendek. Melihat kondisi demikian memang seni rupa surabaya cukup dominan dalam lingkup wacana nya terdahulu namun wacana seni rupa surabaya yang sempat berkobar agaknya semakin redup di era kontemporer ini sehingga mungkin persepsi para pengamat dan pengkaji seni mempertimbangkan ulang untuk membicarakan wilayah kajian entitas seni rupa surabaya.
            Wacana seni rupa terdahulu kian carut – marut dalam kontemporer ini bagaimana tidak jika arus perkembangan kubu barat dan timur yang semakin maju disisi lain perkembangan seni rupa surabaya semakin terpuruk. sebagai permasalahan yang mendasar dalam keterpurukan seni rupa surabaya sendiri yaitu tidak adanya suatu wacana yang mendominasi dan melekat pada Artworld seni rupa di surabaya, sehingga seni rupa surabaya sendiri tidak memiliki wacana seni rupa nya tersendiri dengan demikian potensi – potensi kesenian yang ada di surabaya seringkali berpindah ke kubu barat dan timur dengan berbasis pada ideologinya,  perupa yang tumbuh dan berkembang di surabaya beralih ke jojga untuk lebih mendongkrak eksistensinya seperti itulah yang sering terjadi.
            Sebenarnya dalam menanggapi permasalahan mendasar tidak bisa hanya melibatkan individu pribadi saja namun akan lebih efektif jika sekelompok individu yang turut mendongkrak seni rupa surabaya, selama ini yang sering penulis lihat kelompok – kelompok perupa yang silih berganti sesuai zamannya sebenarnya hanyalah sekelompok perupa yang bersifat temporal, yang tujuannya tidak lain hanya menggalang pameran. Kelompok – kelompok ini tidak berbasis pada ideologis tertentu, yang bertujuan mengobarkan suatu wacana. Tak satu pun kelompok – kelompok seni rupa surabaya yang menciptakan kesan sebagai suatu gerakan kesenian yang akan melahirkan suatu wacana baru sehingga tidak hanya wacana seni rupa kubu barat dan timur saja namun agaknya seni rupa surabaya di pandang sebagai wacana tengah. Dalam mewujudkan wacana tengah untuk seni rupa surabaya tentunya bersama kita harus menacari jati diri atau identitas karena dilihat dari perkembangan seni rupa, hal tersebut merupakan rentetan perdebatan besar yang sudah lama di hembuskan oleh polemik – polemik lama. Dan disisi lain kita harus mentransformasi seni rupa kita, menurut Umar Kayam, “Transformasi mengandaikan sesuatu proses pengalihan total dari suatu bentuk yang sosok baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu proses perubahan. Transformasi dapat di bayangkan sebagai suatu proses yang lama bertahap – tahap akan tetapi dapat pula di bayangkn sebagai titik balik yang cepat bahkan abrup”dan yang tidak kalah penting yaitu perlunya keberadaan sekelompok individu yang mengobarkan sebuah wacana baru untuk keserupaan di surabaya dengan hal demikian bisakah seni rupa di surabaya ditilik sebagai wacana tengah?.

Nabila Warda Safitri

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tulisannya menarik, menurut saya kenapa Surabaya tdk tercatat dalam pemetaan Seni Rupa Indonesia saat itu, saya punya & pernah membaca buku keluaran yayasan cemeti, OUTLET. Menurut kritikus seni Trisno Sumardjo, Kontradiksi Kubu Bandung dan Jogja berkembang sejak awal abad20. Bandung sbg Laboratorium barat, kubu Jogja sebagai lawan menunjukkan Seni Rupa "tidak barat". Mungkin dominasi 2kubu tersebut yg membuat beberapa daerah lain seperti Surabaya pun tak nampak di permukaan. Jangankan Surabaya, Bali yg didalamnya terdapat tokoh spt Blanco, Bonet dan beberapa tokoh PitaMaha lainnya juga rasanya kurang nampak di era Modern. Selain itu, tidak hanya peran sebuah Institusi, tapi juga beberapa peristiwa kesenian kala itu yang didalamnya terdapat dan digagas tokoh dari Jogja & Bandung. Sampai era Kontemporer pun, kita mengenal Gerakan Seni Rupa Baru/GSRB dan peristiwa Desember Hitam, tokoh2nya pun dari Institusi Jogja dan Bandung.
    #CMIIW dan sorry kalau pembahasannya melenceng

    BalasHapus
  3. Tulisannya menarik, menurut saya kenapa Surabaya tdk tercatat dalam pemetaan Seni Rupa Indonesia saat itu, saya punya & pernah membaca buku keluaran yayasan cemeti, OUTLET. Menurut kritikus seni Trisno Sumardjo, Kontradiksi Kubu Bandung dan Jogja berkembang sejak awal abad20. Bandung sbg Laboratorium barat, kubu Jogja sebagai lawan menunjukkan Seni Rupa "tidak barat". Mungkin dominasi 2kubu tersebut yg membuat beberapa daerah lain seperti Surabaya pun tak nampak di permukaan. Jangankan Surabaya, Bali yg didalamnya terdapat tokoh spt Blanco, Bonet dan beberapa tokoh PitaMaha lainnya juga rasanya kurang nampak di era Modern. Selain itu, tidak hanya peran sebuah Institusi, tapi juga beberapa peristiwa kesenian kala itu yang didalamnya terdapat dan digagas tokoh dari Jogja & Bandung. Sampai era Kontemporer pun, kita mengenal Gerakan Seni Rupa Baru/GSRB dan peristiwa Desember Hitam, tokoh2nya pun dari Institusi Jogja dan Bandung.
    #CMIIW dan sorry kalau pembahasannya melenceng

    BalasHapus